Wuwung Mbaru (Atap Rumah Gendang)

Wuwung Mbaru (Atap rumah) Pada bagian atap rumah gendang memiliki beberapa simbol yang mengandung nilai religius dan filosofi orang Manggarai. Pertama, lukisan wajah manusia pada kayu ngando (tiang utama mbaru gendang). Gambaran ini melukiskan kehidupan religius masyarakat Manggarai yang selalu terarah kepada Mori KeraƩng. Letaknya pada ujung bubungan rumah juga melambangkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia di antara ciptaan lain di bumi (Janggur, 2010). Kedua, simbol tanduk kerbau yang terbuat dari kayu atau dapat juga menempelkan tanduk kerbau yang asli pada lukisan wajah manusia di ngando (ujung atap). Simbol tersebut menggambarkan watak dan kepribadian masyarakat Manggarai yang memiliki daya juang tinggi dan pekerja keras seperti kerbau. Sebab, bagi orang Manggarai kerbau adalah lambang kekuatan, daya juang dan semangat kerja yang tinggi. Dalam kenyataannya kerbau memiliki kekuatan yang dapat membantu manusia dalam mengerjakan sawah. Itulah sebabnya kerbau dalam masyarakat Manggarai sebagai binatang langkah karena itu digunakan sebagai jaminan untuk membayar belis (Haryanto, 2019). Lambang tanduk kerbau juga menunjukkan identitas maskulin kampung tersebut (Adon, 2021d).

.                Atap Rumah gendang Ru'a 

Desain atap mbaru gendang dibagi menjadi empat bagian loteng (leba) dengan fungsinya masing-masing. Bagian loteng (leba) pertama yang dikenal sebagai leba mese berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan atau gudang untuk menyimpan hasil kebun secara khusus padi dan jagung yang bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama sebagai persiapan di bulanbulan yang sulit. Tingkat kedua yang disebut sebagai lempa rae berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman. Tingkat tiga yakni leba koe sebagai tempat menyimpan barang-barang keramat seperti cica (jimat), keris atau barangbarang antik peninggalan leluhur yang sifatnya magis dan keramat dan leba/loteng yang paling tinggi yang disebut leba sekang kode berfungsi sebagai tempat untuk menghaturkan sesajen atau persembahan kepada leluhur (Vanesvaria et al., 2022).
Seni konstruksi mbaru gendang tersebut hendak menyatakan bahasa simbolis “Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala” (hidup sampai di bulan, tinggi sampai di langit). Bahasa simbolis yang berasal dari konstruksi mbaru gendang ini memberikan arti agar pertumbuhan dan perkembangan manusia selalu sehat dan sejahtera. Sedangkan atap mbaru gendang yang berasal dari ijuk memberikan gambaran kepada orang Manggarai agar dalam menjalani kehidupannya senantiasa kuat dan bekerja keras. Hal ini diungkapkan secara indah dalam pepatah, “kimpur neho kiwung lopo, cimang neho rimang camar imang rana” (kuat seperti batang lidi enau yang bertumbuh subur, keras seperti batang pohon enau yang berusia tua). Sebab untuk menumbangkan batang pohon enau yang sudah tua sangat sulit, dan bahkan tidak bisa ditembus oleh parang dan kapak sehingga dibutuhkan kerja keras dan kebersamaan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gong

Compang